"kisah ini hanya fiktif jika ada kesamaan nama dan tempat saya mohon maaf"
Hidupku bagai alur
cerita sinetron, apalagi peristiwa kemarin tgl 2 februari 2012, di sore yang
tenang ketika aku sedang menemani teman-temanku yang datang ke rumah. Ifa ” mba
tumbas baso goreng”. Ya fa,jawabku. “ ga usah beli baso goreng, mba ea ga bisa
nggorengnya,” kata mbah ndut berkali-kali pada cucunya Baim dan Ifa. Tapi, aku
tetap melayani pesanan mereka berdua, tadi bisa ko ujarku dalam hati. Yang
semestinya kuturuti saja perkataan mbahku tadi supaya tidak melayani baso
goreng pesanan sepupuku yang imut-imut itu sehingga tidak perlu ada sore yang
kelam di rumahku, tapi itu semua sudah kehendak Allah. Ketika sedang menggoreng
bakso bapak pulang dari kantor, tumben sekali dia pulang jam 4 sore.
Tanpa mengucapkan
salam, seperti biasanya. Langsung bertanya. “ayam sudah dikasih makan? Kujawab
belum, ndak tau takarannya”. Trus Tanya lagi” mama ke slawi pake mobil apa?”.
Mobil putih punya mbah”.jawabku. tiba-tiba bapak berkata dengan nada tinggi “
mama kamu tiap pergi pasti pas bapak ga da di rumah, kemarin waktu bapak ke
solo mama kamu pergi ngajak adikmu ke bumiayu, trus malamnya langsung
melahirkan gara-gara di ajak jalan-jalan ke bumiayu, tahu ga kamu! Aku jawab
“ya tahu,”pikirku adikku melahirkan memang sudah kehendak Allah seperti itu, bukan
karena diajak jalan-jalan. Ku ungkapkan saja unek-unekku pada waktu itu, yang
biasanya aku diam saja mendengar omelannya yang setiap hari terlontar dari
mulutnya. “ ya itu kan sudah kehendak Allah pa,” bapak menyahut” ya ga lah itu
karena dibawa jalan-jalan ke bumiayu sama mama kamu”. Ku jawab “ya kan kalau
bukan kehendak Allah ga mungkin lahir.” Trus dijawab oleh bapak” mama kamu itu
dari dulu sampai sekarang ga berubah, tetep goblok saja, sudah punya cucu tetap
saja kelakuannya sama.” Ya sabar pa” jawabku. “dari dulu sampai sekarang bapak
sudah sabar, menghadapi kelakuan mama kamu tapi teteap saja ga mau berubah,
kesabaran bapak sudah habis” jawab bapak dengan nada tinggi yang. “yang namanya
sabar ga da batasnya pa, kalau ada batasnya berarti sudah ga sabar” ujarku.
“kamu mau membela mama kamu ya heh! Siapa yang nyekolahin kamu dari dulu sampai
sekarang, heh! Siapa yang biayain kamu! Sana minta biayain sama mama kamu!
Sudah, urusan orang tua ya orang tua saja, anak ya anak saja ga usah ikut
campur”. Aku kaget, dengan setengah gemetaran sambil memasukkan baso goreng ke
dalam plastic, aku jawab iya pa iya. Bapak malah tambah naik pitam “ ya sudah
diam!” ku jawab “ya pa iya”. “ dengan tangannya bapak lempar penggorengan yang
masih berisi minyak panas bekas untuk menggoreng bakso”klontang, klontang!”
minyak panas berhamburan ke tembok, “gubrak! Prang! meja berisi piring dan
gelas tidak luput dari amukannya. Dan sekali lagi gubrak! Lemari di sampingku
jatuh. Bapak sudah lepas kendali, kemarahannya memuncak. Aku berusaha menenangkannya”pa
istighfar pa, ya Allah pa istighfar” “tidak ! kata bapak. Setan sudah masuk ke
tubuh bapak!” aku sangat kaget mendengar perkataan bapak. Berulang ulang aku
berusaha menenangkannya “ pa istighfar pa, astaghfirullahal'adzim”. Sambil
mencegah tangan beliau untuk tidak menghancurkan barang-barang lain di rumah. Seketika itu, mbah
ndut dan pak likku datang memisahkan kami berdua yang sangat mirip dengan
adegan berantem di sinetron-sinetron. Aku terlempar ke lantai. kemudian mbah
ndut memegangi ku yang mulai menagis karena, sangat kaget, kecewa, dan menyesal
mengapa bapak sampai melakukan hal seperti ini, mengamuk sampai ruang dapur
seperti telah terkena bencana gempa, porak poranda seperti kapal pecah. Aku di
bawa ke ruang tamu oleh mbah, dan bapak tetap mengikutiku, dengan kata-kata yang terus keluar dari mulut beliau memarahiku. Hingga akhirnya mbah membawaku ke
rumahnya, agar bapak tidak terus memarahiku. Di jalan kulihat
tetangga-tetanggaku berhamburan keluar rumah untuk melihat apa yang telah
terjadi, mereka menyangka ada kecelakaan lalu lintas di jalan raya dekat
rumahku karena suara piring dan gelas yang pecah sangat keras memekakan
telinga. Aku sangat malu melihat para tetangga memndangiku dengan tatapan iba,
aku malu karena kelakuan bapak yang telah mengamuk di rumah, seperti bukan
orang dewasa. Bapak kemudian pergi dengan sepeda motornya dengan kecepatan
tinggi entah kemana aku tidak peduli, tidak pulang lagi pun aku bersyukur.
“mbah apa aku salah bilang sabar ma bapak? Apa aku salah ngingetin bapak?”
Terlontar dari mulutku segala unek-unekku yang selama ini telah kupendam semuanya.
Teman-temanku yang sedang main ke rumah tentu sangat shock dan prihatin dengan
nasibku sampai mereka pun ikut berurai air mata sepertiku, bayangkan saja
sedang ngobrol-ngobrol masalah perkuliahan nanti semester 7 bagaimana, lalu
melihat bapak dari temannya sedang mengamuk di rumah yang sedang mereka
kunjungi, hingga seisi dapur berantakan. Dihati mereka ingin menolong tapi
takut terkena amukan bapak juga……………………………. (to be continued..)
Inspirasiku my beloved friend, yang jauh di sana...............
0 komentar:
Posting Komentar